Berat hati pergi ke Palembang
Saya adalah karyawan sebuah BUMN yang diikat dengan sebuah kontrak kerja bahwa saya sanggup ditempatkan dimana saja di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2001 saya menerima surat keputusan (SK) pindah tugas ke Palembang. Ketika pertama kali mendengar berita kepindahan tersebut, terus terang saya kaget dan agak berat menerimanya.
Saya merasa agak berat menerimanya karena selama ini cerita yang saya dengar tentang Palembang lebih banyak sisi negatifnya daripada positifnya. Tentang orang-orangnya yang keras, temperamental dan hanya mau menang sendiri, banyaknya premanisme dan keadaan kota yang kurang aman, fasilitas air, listrik dan jalan yang jelek serta berbagai cerita buruk lainnya.
Tetapi bagaimana pun SK telah saya terima, mau tidak mau saya harus berangkat menjalaninya. Akhirnya, dengan mengucap bismillah saya berangkat dan memboyong semua anak dan istri saya ke Bumi Sriwijaya.
Di Palembang, saya mendapat jatah sebuah rumah dinas kecil di daerah Sekip Tengah. Rumah dinas itu adalah sebuah rumah tua beratapkan seng, separuh dindingnya terbuat dari kayu dan sebagian tiangnya telah keropos. Sejak dibangun, rumah tersebut kelihatannya belum pernah direnovasi, hanya bagian lantainya saja yang sudah diganti dengan keramik putih.
Soal keadaan rumah tidak menjadi masalah, yang agak menjadi masalah bagi saya sekeluarga adalah air. Air PDAM memang mengalir, tetapi dalam sehari hanya mengucur 1 kali selama satu jam, itu pun harus disedot dengan pompa air listrik. Jika kita ingin bepergian, maka semua bak penampung air harus sudah diisi dulu, kalau tidak maka pada hari itu kita tidak akan mendapat jatah air.
Belakangan saya baru tahu, keadaan seperti itu juga terjadi di beberapa tempat di Palembang. Alhamdulillah, saya sekeluarga bisa berdamai dengan masalah yang satu ini.
Pesona Palembang
Cerita tentang Palembang sebagai kota yang seram ternyata banyak salahnya. Berkebalikan dengan gambaran itu, Palembang ternyata menyimpan sejuta pesona.
Saya tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk beradaptasi. Di kampung tempat saya tinggal, warga setempat sangat welcome terhadap para pendatang. Saya bisa langsung bergabung dalam forum-forum seperti pengajian, kerja bakti, rapat RT atau hajatan warga lainnya. Saya sekeluarga sangat menikmati tinggal di kota yang dijuluki sebagai Venice of the East, Venesia dari Timur, ini.
Saat-saat paling indah yang paling saya rasakan selama tinggal di Palembang adalah ketika bulan Ramadhan dan Idul Fitri tiba. Selama bulan Ramadhan, setiap sore di beberapa tempat digelar pasar kaget yang banyak menjual makanan khas yang hanya ada di bulan puasa.
Mereka yang ingin khusyu’ berlama-lama mengkhatamkan bacaan Alqur’an 30 juz dalam shalat tarawih selama 1 bulan, bisa melaksanakannya di Masjid Agung Palembang yang legendaris itu. Imamnya seorang hafiz, penghafal Alquran, yang suaranya sangat fasih dan merdu.
Pada saat Idul Fitri tiba, kita bisa merasakan betul kehangatan wong kito menyambut dan melayani para tamu yang datang ke rumah mereka. Segala macam kuliner eksotis dan sangat memanjakan lidah akan dihidangkan kepada tetamu, ada Engkak, Maksuba, Ragit, Kue Delapan Jam, Pindang Patin, Malbi, Pindang Tulang dan tentu saja Pempek.
Termasuk waktu yang juga saya tunggu-tunggu di Palembang adalah ketika musim panen durian dan duku tiba. Durian yang manis dan legit akan berlimpah di sepanjang jalanan Palembang. Harga durian pada waktu seperti itu akan sangat murah dan istimewanya jika ternyata durian yang kita beli tersebut tidak baik kita bisa langsung mengembalikannya. Di kota lain seperti Jakarta, membeli durian seperti membeli kucing dalam karung, sudah harganya sangat mahal, isinya juga untung-untungan dan yang jelas tidak bisa dikembalikan.
Untuk buah duku, saya dan teman-teman kantor tidak pernah membelinya. Beberapa rekan yang berasal dari daerah Komering biasanya rajin membawa berkarung-karung duku yang sangat manis ke kantor.
Kegiatan lain yang banyak saya lakukan selama tinggal di Palembang adalah traveling. Kantor tempat saya bekerja kebetulan adalah kantor divisi regional yang membawahi wilayah Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jambi, Bengkulu dan Lampung. Karena itu saya punya banyak waktu dan kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat di seluruh wilayah Sumatera Selatan, ke Lubuk Linggau, Lahat, Baturaja, Prabumulih, Muaraenim, Pagaralam, Kayuagung, Sekayu, bahkan sampai ke daerah transmigrasi di jalur anak Sungai Musi.
Landmark kota Palembang seperti Jembatan Ampera, Masjid Agung, Menara Air (Kantor Walikota), Monpera (Monumen Perjuangan Rakyat), Museum Sultan Mahmud Badaruddin, Benteng Kuto Besak, Pasar Cinde adalah beberapa bangunan yang sampai saat ini masih tergambar jelas dalam ingatan saya. Hari-hari selama saya tinggal di Palembang, hampir tidak bisa dilepaskan dari tempat-tempat tersebut.
Tiga anak gadis saya, yang waktu itu masih kecil, juga sangat menikmati perjalanan menyusuri Sungai Musi dengan perahu ketek. Biasanya kami naik dari bawah Jembatan Ampera lalu turun di Pulau Kemaro dan kemudian balik lagi ke tempat berangkat, di lain waktu ke Jembatan Musi Dua atau kadang-kadang hanya menyeberang ke Seberang Ulu. Kalau ingat perjalanan dengan ketek itu kadang-kadang saya ngeri juga, jika ketek terbalik, bisa habis riwayat saya sekeluarga di Sungai Musi.
Setelah turun dari ketek biasanya kami langsung menuju ke Pasar 16 Ilir untuk berburu pakaian atau tas bekas eks luar negeri. Ini termasuk perburuan yang seru, kalau lagi beruntung kita bisa mendapatkan jaket atau tas branded yang masih bagus dengan harga sangat miring, bahkan kadang di dalamnya juga ada uang Dollar-nya.
Selalu rindu Palembang
Pertengahan tahun 2004, ketika saya sekeluarga sedang menikmati asyiknya menjadi warga Palembang, tiba-tiba sebuah SK datang kembali. Kali ini perintahnya adalah saya harus segera meninggalkan Palembang dan pindah tugas ke Jakarta.
Kalau dulu saya merasa berat berangkat ke Palembang, kini perasaan saya justru lebih berat lagi untuk meninggalkannya. Kayaknya saya sudah terlanjur cinta pada Palembang dan wong Palembang.
Sejak kepindahan tahun 2004 itu, saya baru sempat kembali sekali ke Palembang, yaitu pada tahun 2005. Setelah itu hingga hari ini, saya belum punya kesempatan untuk menjejakkan kaki kembali di Palembang.
Terus terang, saya memendam rindu berat pada Palembang. Keadaan Palembang hari ini tentu jauh berbeda dengan keadaan 8 tahun silam, ketika saya meninggalkannya.
Saya dengar selama beberapa tahun terakhir ini Palembang berkembang sangat pesat. Banyak sarana dan prasarana berstandar dunia di bangun dan even-even berskala internasional juga sering digelar di kota Pempek ini.
Kapan ya bisa datang lagi ke Palembang ?
***Alhamdulillah tulisan ini terpilih sebagai pemenang 1 dalam Kompetisi Blog Pesona Sumatera Selatan
mrbedelaje said,
15 Mei 2012 @ 18:06
KEREN…………….
selamat ya OM udah juara I
semoga kesuksesan OM BISA NULAR KE ANE
AMIN AMIN AMIN
SALAM SUKSES
fatah27 said,
15 Mei 2012 @ 19:49
Selamaaaat, pak. Juara pertama!!! Kisah bapak jauh berbeda dengan peserta lomba kebanyakan. Terkesan retro, tapi homey banget tentang Palembang. 🙂
luce.rachma said,
15 Mei 2012 @ 21:22
Semoga bisa punya kesempatan untuk datang kembali ke Palembang untuk ngobatin kangen sekalian treveling bersama keluarga. Nanti jgn lupa kirimin saya pempek yaa, pak…abis di Bogor pempeknya aspal. hehehe :p
Dan congratz atas kemenangannya. Tulisannya memang beneran keren. salam.
Muhammad Rizki said,
16 Mei 2012 @ 22:45
selamat ya pak,
i like it 🙂
risa said,
21 Mei 2012 @ 11:54
ada lomba blog lagi nih.. lumayan ….G.tab
ASRIYATNO said,
21 Mei 2012 @ 12:54
Selamat bos jadi pemenang!…ane juga ngikut kemarin tuh hehehe
nana said,
11 Juni 2012 @ 12:09
selamaatt 🙂
::> nana
Makasih….
kapalkito said,
19 Juni 2012 @ 19:15
waw.. aku salut nian dng tulisan cerito ini, wajar be menang. simple (hanya cerita) tapi penuh makna.. bravo, jng lupo minum cuko be kl kangen palembang pak.. congrat!!
dora said,
21 Juni 2012 @ 13:25
kerinduan yg dalam terhadap palembang tergambar jelas di tulisan bapak. congratulation untuk kemenangannya. salam kenal 🙂
reggaeman said,
27 November 2012 @ 08:41
pepatah orang palembang ”setiap perbuatan baik tak perlu kiasan yg indah” itu prinsip org palembang sampai skg,,,wlpun org ny kasar tapi rata2 org ny bae2,,,
adrian10fajri said,
8 April 2013 @ 21:48
waahh terharu saya bacanya..
terima kasih atas kesannya dengan Palembang dan Wong Palembang..
memang sebelum tahun 2000an image Palembang sangat negatif..
tapi sebenarnya org Palembang keras bicaranya tapi lembut hatinya..
kehidupan kami pun tergolong masih sangat bersahaja..
klo masalah kriminalitas, bukan hanya di Palembang, di semua kota Indonesia juga pasti ada, mungkin lebih parah yang ada di Jakarta di bandingkan di Palembang…
terima kasih atas kesan positifnya dengan Palembang..
semoga bisa berkunjung ke sini lagi (Palembang).. amiinn
salam kenal..
silahkan berkunjung ke blog saya >> http://www.adrian10fajri.wordpress.com (Pesona Palembang)
deri said,
25 Oktober 2013 @ 22:21
palembang sudah banyak berubah, rumah dinas di sekip di mananya pak?
Agee Fonzi said,
28 Juli 2014 @ 00:10
keren pak tulisannya… Salam dari orang lahat pak.. come back here soon and enjoy palembang again sir 😀
Om Agee Fonzi
Thx bersedia membaca dan memberi respon…